Friday, September 23, 2011

Pengawasan dan tanggung-jawab

Pengawasan melekat pada perorangan dan setiap jabatan yang dilaksanakan. Perbedaan antara kedua jenis pengawasan itu adalah, bahwa pada perorangan pengawasan berhubungan dengan menjaga keseimbangan antara nurani (emosi), otak (intelektual), dan kejiwaan (spiritual) tentang perilaku sendiri, sedangkan pengawasan sebagai fungsi manajemen dalam suatu organisasi berupa ketentuan-ketentuan tertulis yang harus dilaksanakan dalam menjalankan jabatan bersangkutan. Pengawasan perorangan dilakukan dengan sendirinya (otomatis), antara lain agar perilaku yang bersamgkutan dapat diterima oleh akal sehat, misalnya perilaku seorang bapak dalam tanggung-jawabnya mengenai keluarganya, atau seorang anggota dari lingkungan tertentu dalam berkomunikasi. Karena itu setiap individu selalu berusaha menjaga kesimbangan unsur-unsur tersebut, agar selalu diterima dalam dengan lapang dada dan tangan terbuka. Sebagai fungsi manajemen, pengawasan bertujuan bukan untuk mencari-cari kesalahan, tetapi supaya usaha berhasil dengan baik, dan mengawasi agar seluruh kebijaksanaan dan instruksi dilaksanakan, mendeteksi dan mengusulkan perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika yang terjadi dari waktu ke waktu, dan mengadakan koreksi atau tindakan atas penyimpangan / pelanggaran yang terjadi secara langssung atau tidak langsung.

Hasil dari pengawasan-pengawasan itu dipertanggung-jawabkan, dan dinilai oleh orang-orang yang terlibat, atauoleh atasan yang bersangkutan. Tanggung-jawab perorangan berlaku selama hidup, sedangkan tanggung-jawab pelaksana fungsi manajemen dari suatu organisasi berhenti dengan berakhirnya yang bersangkutan memangku jabatan pada organisasi bersangkutan.

Pertanyaan yang sederhana, adalah apakah seorang kapten kapal tidak bertanggung-jawab tentang kelebihan jumlah penumpang yang dapat dibawa oleh kapalnya? Apakah kalau dia menegor pembantunya yang bertugas untuk menerima penumpang dan menerima penumpang melebihi kapasitas kapalnya, termasuk mengintervensi kegiatan pembantunya itu?
Pembentukan karakter memerlukan pendidikan dan keteladanan, mulai dari usia dini oleh ayah, ibu, dan setiap individu yang berada di sekitar rumah tangga bersangkutan. Pendidikan dan keteladanan ini dilanjutkan di sekolah mulai dari TK sampai ke perguruan tinggi,.setiap lingkungan yang dimasuki, serta kaum elite bangsa, yang bersifat berkesinambuingan. Karakter harus bernuansa jujur, disiplin, bijaksana, tegas, berani, percaya diri, punya harga diri, pantang menyerah, dan mampu memisahkan yang benar dan yang salah. Yang penting adalah pendidikan dan teladan itu diberikan dan ditunjukkan oleh orang-orang yang mampu serta dihormati dan disegani, .yang hanya bisa diperoleh bila mereka bisa dipercaya, dalam arti bahwa mereka dapat menghasilkan  sesuatu dengan baik dan jujur, sesuai dengan yang diharapkan.  Pembentukan karakter bangsa akan memakan waktu cukup lama, karena kondisi dan dinamika yang berpengaruh terhadap kenyataan hidup dewasa ini.. Diketahuii, bahwa meniru adalah kata kunci dari pendidikan dan keteladanan, yang dapat juga disebut "pencemaran" atau kontaminasi, tergantung dari unsur-unsuir yang memberi pendidiian dan teladan itu. Justru hal ini sangat menentukan hasil dari usaha pembentukan karakter yang diharapkan. Pertanyaannya adalah, apakah para pendidik dan mereka yang harus memberi teladan itu waktu ini, adalah orang-orang yang mampu, dihormati dan disegani.

Suatu contoh yang cukup valid, adalah pemakaian bahasa Indonesia, yang  dilakukan tanpa perbaikan yang berarti. di sekolah-sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari. Dewasa ini,  perkataan "saya", menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta dipakai sebagai kata pengganti orang kesatu yang lebih takzim daripada "aku",  sedangkan perkataan "aku" adalah kata ganti orang pertama, biasanya dipakai di percakapan yang akrab seperti orang tua kepada anaknya dsb. Kenyataannya perkataan "aku" dpakai dalam hampir semua percakapan. Mungkin hal ini sejalan dengan dinamika, tetapi karena telah berlangsung cukup lama, juga dilakukan oleh generasi-generasi yang mengalami pendidikan dalam kurun waktu ini, termasuk para guru yang harus mengajarkannya kepada generasi penerus. Kalau diakui, sebaiknya dibakukan saja, dan diadakan perubahan pada kamus-kamus yang berlaku. Kejanggalan-kejanggalan ini, atau katakanlah dinamika, terdapat juga dalam pemakaian peribahasa, kata kerja, awalan dan akhiran, dan sebagainya, yang memerlukan penelitian, dan kalau perlu. dibakukan. Pembiaran yang berlarut-larut akan menimbulkan kerancuan,. Dengan keadaan seperti ini, apakah dapat dipertanggung-jawabkan usaha untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar ASEAN?

Kembali kepada pembentukan karakter, sudah waktunya mengadakan suatu sistem yang solid, dan dimulai dengan pelajaran dan pengajaran kepada mereka yang harus memberi teladan kepada generasi yang lebih muda, dan kepada setiap orang tua. Sebagaimana halnya dengan pemulihan dekadensi moral yang merusak wajah Indonesia waktu ini,  pembentukan karakter hanya akan berhasil dengan baik dengan melibatkan dan  dimulai dengan setiap individu secara aktip dan terarah.